Posts Tagged With: artikel

十句话

👍👍👍北大新任校长王恩哥上任,便向学生提出十句话,在全校引起热议,有学生形容是新的校训。这十句话传播神速,在不少年轻人里疯传。
■第一句话,结交“两个朋友”:一个是图书馆,一个是运动场。到运动场锻炼身体, 强健体魄。到图书馆博览群书,不断的“充电”、“蓄电”、“放电”。
■第二句话,培养“两种功夫”:一个是本分,一个是本事。做人靠本分, 做事靠本事。靠“两本”起家靠得住。
■第三句话,乐于吃“两样东西”:一个是吃亏,一个是吃苦。做人不怕吃亏, 做事不怕吃苦。吃亏是福,吃苦是福。
■第四句话,具备“两种力量”:一种是思想的力量,一种是利剑的力量。思想的力量往往战胜利剑的力量,这是拿破仑的名言。一个人的思想走多远,他就有可能走多远。
■第五句话,追求“两个一致”:一个是兴趣与事业一致,一个是爱情与婚姻一致。兴趣与事业一致,就能使你的潜力最大限度地得以发挥。恩格斯说,婚姻要以爱情为基础。没有爱情的婚姻是不道德的婚姻。也不会是牢固的婚姻。
■第六句话,插上“两个翅膀”:一个叫理想,一个叫毅力。如果一个人有了这“两个翅膀”,他就能飞得高,飞得远。
■第七句话,构建“两个支柱”:一个是科学,一个是人文。
■第八句话,配备两个“保健医生”:一个叫运动,一个叫乐观。运动使你生理健康,乐观使你心理健康。日行万步路,夜读十页书。
■第九句话,记住“两个秘诀”:健康的秘诀在早上,成功的秘诀在晚上。爱因斯坦说过:人的差异产生于业余时间。业余时间能成就一个人,也能毁灭一个人。
■第十句话,追求“两个极致”:一个是把自身的潜力发挥到极致,一个是把自己的寿命健康延长到极致。
——精辟!
与大家共勉之!

Categories: Artikel | Tags: , , , , , , , , , , | Leave a comment

今年开斋节的假期跟去年一样 (This Year’s Eid Mubarak Holiday is the same with Last Year’s)

今年斋节的假期我没有去路行。因为新冠病毒疫情还没有结束,所以我还怕在换旅游景点被感染。我虽然打了疫苗靠近办公室的村建保所,我还是只去超市买日用品,蔬菜 和水果。因为我家附近卖菜的小贩都回乡,所以我须要买供应假期的伙食。

Categories: Artikel | Tags: , , , , , , | Leave a comment

新冠病毒疫情 (Covid Pandemic)

新冠病毒疫情已经发生两年了。从2019年十二月到现在。疫情期间我们必须保出隔离,不要聚合,聚餐。疫情痛过打喷嚏,咳嗽,还有病人接触过的东西传播的。因为很多病人没有症状,所以我们不知道谁带来病毒。一出门就要戴口罩。一回家,就勤洗手。做好防护能保重身体也可以保护他人。

Categories: Artikel | Tags: , , , , , , , , | Leave a comment

Bung Karno, Arsitektur dan Pembangunan Bangsa Indonesia

Tugas

AR 3232 Arsitektur Pasca Kemerdekaan Indonesia

Oleh

Teresa Zefanya

Presiden pertama republik Indonesia yaitu Presiden Soekarno, atau yang lebih dikenal sebagai Bung Karno, adalah seorang yang dihormati oleh rakyat Indonesia bahkan disegani pemimpin –  pemimpin negara lainnya. Berlatar pendidikan arsitektur dari ITB, bukannya mengikuti jejak dosennya yaitu C.P.W. Schoemaker menjadi seorang perancang bangunan, Bung Karno malah bercita- cita untuk membangun bangsanya. Cita- cita tersebut diwujudkan dalam setiap perjuangannya untuk memerdekakan bangsa dan tanah airnya. Semangat dan kegigihan Bung Karno untuk mewujudkan bangsa Indonesia dari penjajah yang merdeka cukup membuat pemerintah Belanda kewalahan. Bung Karno pernah dipenjarakan di Penjara Sukamiskin, Bandung, namun pembelaan yang ditulisnya yaitu Indonesia Menggugat malah membuat semangat perlawanan semakin berkobar dalam jiwa rakyat Indonesia. Bung Karno kemudian dibuang ke Ende, Flores lalu dibuang ke Bengkulu dengan maksud supaya Bung Karno ditinggalkan bahkan dilupakan oleh para pengikutnya.  Akan tetapi, justru di pembuangannya inilah Bung Karno berkesempatan untuk menjadi dekat dengan kehidupan masyarakat pedesaan yang begitu sederhana. Bung Karno mengajari masyarakat Ende membaca dan menulis supaya masyarakat desa di sana menjadi cerdas sehingga tidak bisa dibodohi oleh pemerintah kolonial. Di Bengkulu tidak banyak hal yang bisa dilakukan oleh Bung Karno, namun Bung Karno justru berhasil menemukan kepribadian sejati bangsa Indonesia yaitu gotong royong ketika beliau membangun sebuah masjid bersama- sama dengan rakyat di tempat beliau diasingkan.

Kegigihan dan semangat perjuangan Bung Karno yang tak pernah padam, tampak dalam proyek – proyek skala besar yang dibangun pada masa pemerintahannya. Walaupun hasil karya pribadi Bung Karno dapat dihitung dengan jari, namun Bung Karno memperlihatkan cara beliau menarik intisari arsitektur modern untuk mengatasi ingatan akan kolonialisme dan membentuk zaman baru. Melalui intervensi kreatif – ideologis di ruang publik, Bung Karno berupaya menumbuhkan semangat gotong royong dan rasa bangga sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Bung Karno melihat bahwa setelah dijajah selama ratusan tahun kepercayaan diri bangsa Indonesia telah menjadi begitu rendah sehingga beliau sengaja menggunakan arsitektur dan perancangan kota dalam “nation and character building”- pembangunan kepribadian bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka seutuhnya dari penjajahan termasuk penjajahan ekonomi, sosial, dan budaya. Pembangunan karya arsitektural yang terus menerus digenjot pada era kekuasaan beliau, diposisikan sebagai simbol pembangunan kebangsaan negeri yang berdikari, berani membusungkan dada dan siap menjadi warga dunia kelas satu. Oleh karena itu, selama menjabat sebagai presiden, Bung Karno mencurahkan sebagian besar perhatiannya untuk  pembangunan Ibu Kota Jakarta. Ibu Kota Jakarta dapat dikatakan sebagai wajah bangsa Indonesia yang menunjukkan jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia sehingga untuk menunjukkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat diperlukan suatu penataan kota dengan bangunan- bangunan yang dapat menunjukkan kedaulatan Indonesia.

Bung Karno ingin menunjukkan pada dunia dan terutama pada rakyat Indonesia sendiri bahwa walaupun baru saja merdeka, bangsa Indonesia mampu untuk menghasilkan berbagai karya arsitektur yang luar biasa. Seakan menegaskan keseriusan beliau, Bung Karno bahkan rela menghancurkan rumahnya sendiri di Jalan Pegangsaan Timur yang sarat akan nilai- nilai historis sebagai tempat berlangsungnya pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Beliau bahkan menunjuk arsitek F. Silaban untuk membangun Gedung Pola di atas lahan bersejarah itu. Melalui tindakan yang terbilang cukup ekstrim tersebut, Bung Karno ingin menyampaikan pesan bahwa untuk bisa maju maka bangsa Indonesia harus bisa lepas dari ingatan masa lalu. Melalui proyek CONEFO, Bung Karno ingin membuat rakyat Indonesia merasakan berbagai perasaan seperti  bangga, marah, malu, dan bersemangat sehingga rakyat Indonesia menjadi terpacu untuk semakin maju dan mengembangkan dirinya. Jadi, Ibu Kota Jakarta yang dibangun oleh Bung Karno bukanlah tempat memberi pesan tetapi arsitektur Kota Jakarta sendiri adalah pesan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang merupakan batu loncatan untuk menuju masa depan. Bangunan- bangunan seperti Monumen Nasionla, Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, Gedung MPR, dan lain sebagainya, adalah suatu gertakan awal yang diperlukan untuk gertakan berikutnya dan seterusnya sehingga pembaruan dapat berjalan terus. Bung Karno telah memberikan semacam teladan bagi dunia arsitektur bahwa profesi ini punya misi yang besar dan penuh arti. Arsitek tidak hanya tukang gambar dan desainer yang kreatif tapi juga seorang intelektual yang menduduki posisi kritis dalam memberi bentuk dan arah pada sejarah Indonesia.

Categories: Artikel | Tags: , , , | 1 Comment

PENDEKATAN DESAIN REM KOOLHAAS

AR2211   TEORI DESAIN ARSITEKTUR

logo_itb 

 

  Oleh:

15213017        Erma Tsania

15213035        Teresa Zefanya

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2015

 

 

REM KOOLHAAS

Pendekatan :

  1. Melalui desainnya ia ingin mengungkapkan masa depan di hadapan semua orang.

Ia menggabungkan tema dari seluruh proyek urban dalam visinya mengenai metropolitan sebagai dunia yang terbuka untuk setiap jenis pengalaman manusia. Bagi Koolhaas, metropolitan adalah sebuah struktur yang mampu menelaah dunia untuk mencari kesempatan di mana perubahan terjadi lebih cepat dibandingkan di mana pun. Oleh karena itu, masa depan dari sebuah kota modern adalah sebuah kota paradigma yang ekstrim dan berkembang. Dengan kata lain, Koolhaas menggunakan masa lalu untuk membangun masa depan dan bersikeras untuk menunjukkan bahwa ini bukan akhir dari segalanya.

  1. Menyadari hubungan di antara sesuatu yang secara rasional tidak terhubung.

Dari Metode Kritik Paranoid oleh Salvador Dali di mana analisis setara dengan konstruksi visi alternatif. Metode tersebut dapat diterapkan ketika menciptakan suatu karya seni. Caranya adalah dengan menggunakan proses aktif dari pikiran untuk memvisualisasikan hasil akhirnya akan seperti apa. Hasil yang dimaksud bisa saja berupa gambar ambigu yang dapat diinterpretasikan dengan berbagai cara, misalnya saja mendefinisikan tipe baru mengenai keterkaitan antara teori dan praktik, antara arsitektur dan situasi kebudayaan, serta kontribusi pada lingkungan binaan.

  1. Sebuah elemen yang konsisten

Setiap proyek Koolhaas benar- benar unik namun beliau merasa puas karena bangunan- bangunan tersebut tidak mudah dikenali sebagai hasil desain Koolhaas. Namun, di antara berbagai proyek Koolhaas ada satu elemen yang konsisten yaitu penggunaan material umum yang biasa ditemui sehari- hari, seringkali yang harganya tidak mahal, baik untuk struktur bangunan hunian seperti Villa Dall’Aca, maupun untuk bangunan publik seperti Kunsthal Gallery di Rotterdam. Koolhaas berusaha untuk menemukan cara supaya perubahan dapat digunakan untuk menguatkan identitas orisinil.

  1. Mempercayai komposisi, tetapi tidak dengan aturan

Koolhaas tidak masalah dengan pola- pola baru ataupun model- model baru yang ditemukan. Sedangkan mengengai aturan baru, Koolhaas berpendapat bahwa dibutuhkan ideologi politik dan kebudayaan yang konsisten dengan seluruh ide dari peraturan tersebut. Bukan tanpa alasan bahwa selama 30 tahun terakhir digunakan untuk merombak aturan. Bahkan, hari ini terdapat pandangan secara teknologi dan sosial yang menyatakan peraturan tidak relevan.

  1. Sebagai seorang arsitek yang kritis

Arsitektur selalu mendukung pergerakan energi seseorang karena setiap subyek, setiap pertanyaan, dan setiap ambisi dianalisis untuk mendapatkan makna yang berbeda. Rem Koolhaas tidak selalu menjadi arsitek, ia mengawali karier sebagai seorang jurnalis. Sebagai seorang arsitek, beliau mencoba untuk mengubah sesuatu melalui gedung yang dibangunnya sedangkan sebagai seorang jurnalis, beliau mencoba untuk memahami sesuatu dan membiarkan apa yang ada. Koolhaas akan menentukan posisinya sebagai apa tergantung masalah arsitektur yang dihadapinya sehingga beliau dapat menggunakan energi dan bagian terbuka dari bangunan publik yang sudah ada.

Di mana? Jika membangun di daerah barat semua orang selalu saling mendorong, segala sesuatu merupakan tekanan bahkan diarahkan oleh kekuatan brutal. Jika membangun di Asia segala sesuatu dikaitkan menjadi satu. Tantangan seorang Koolhaas saat ini adalah area kritis. Baik di Swiss di mana seluruh desa telah ditinggalkan oleh penduduknya maupun di Tiongkok ataupun di Belanda.

  1. Arsitektur dapat berkontribusi pada identitas nasional

Sebagai hasil dari neoliberalisme ataupun globalisasi seharusnya terbuka banyak peran dan lebih banyak kesempatan bagi karya- karya arsitektur tetapi hal yang terjadi malah sebaliknya. Rezim pasar ekonomi yang seharusnya mengusung kreativitas dan inovasi justru tidak melakukan hal tersebut sehingga kreativitas dan inovasi mati. Mencoba beralih pada regional sebagai penawar dapat dipahami. Namun ada dua aspek yang patut dipertimbangkan. Pertama, bukan hal yang cerdas untuk mempertahankan gerakan internasionalis. Kedua, agak naif untuk menganggap bahwa suatu daerah sebagai entitas stabil yang tidak mengalami pemodernan di saat yang bersamaan. Pada akhirnya akan datang masa sulit, dapatkah arsitektur diubah menjadi lebih kompleks atau lebih sederhana atau bahkan menjadi relatif? Saat ini situasinya sudah semakin kompleks dengan pasar ekonomi sebagai faktor penentunya.

 

Referensi :

  1. http://www.pritzkerprize.com/2000/essay
  2. http://www.pritzkerprize.com/2000/jury
  3. http://www.pritzkerprize.com/2000/announcement
  4. http://www.smithsonianmag.com/arts-culture/why-is-rem-koolhaas-the-worlds-most-controversial-architect-18254921/?no-ist
  5. http://www.archdaily.com/568255/13-things-you-didn-t-know-about-rem-koolhaas/
  6. http://volumeproject.org/2014/10/critical-globalism-rem-koolhaas-interviewed-by-brendan-cormier-and-arjen-oosterman/
  7. http://www.architectural-review.com/comment-and-opinion/interviews/the-flying-dutchman-charles-jencks-interviews-rem-koolhaas-on-his-biennale/8664063.article
  8. http://www.lynnbecker.com/repeat/OedipusRem/koolhaasint.htm
Categories: Artikel | Tags: , , | 1 Comment

KETIDAKBERHASILAN SISTEM DALAM INSTITUSI PENDIDIKAN

Belakangan ini sering terdengar kabar yang tidak mengenakan mengenai keadaan institusi pendidikan di negeri kita tercinta. Bukan hanya sekedar kabar burung yang memang belum jelas kebenarannya, melainkan berita yang disiarkan melalui media cetak maupun elektronik sehingga kebenarannya hampir dapat dipastikan. Seperti yang telah diketahui, seringkali media massa di tanah air diramaikan oleh berita mengenai jatuhnya korban dalam kegiatan perpeloncoan yang diadakan oleh berbagai institusi pendidikan. Keluarga yang anaknya menjadi korban menjerit- jerit menuntut keadilan bagi anak mereka yang telah kehilangan nyawanya. Dari berbagai kasus tersebut, jatuhnya korban tidak disebabkan hanya oleh satu pihak saja. Kedua pihak baik korban maupun pelaku sama- sama telah melakukan kelalaian. Penyebab melayangnya nyawa peserta perpeloncoan bermacam- macam mulai dari keteledoran panitia penyelenggara, kurangnya pengawasan secara langsung dari pembimbing, senioritas yang terlalu berlebihan, bahkan bisa saja peserta yang terlalu memaksakan diri untuk menyelesaikan kegiatan yang diikutinya. Oleh karena itu, keadilan tidak dapat ditegakkan secara sepihak mengingat begitu banyaknya penyebab yang saling terkait. Pemerintah pun sempat melarang segala bentuk kegiatan perpeloncoan untuk menghindari jatuhnya korban lagi. Namun, apakah pelarangan tersebut sungguh efektif untuk menghentikan kekerasan yang terjadi di dalam institusi pendidikan?

Dengan adanya peraturan semacam itu, institusi pendidikan di negeri ini seakan mendapat tamparan sehingga mereka dituntut untuk membenahi diri agar jangan sampai terjadi lagi peristiwa yang dapat mencoreng wajah pendidikan. Akan tetapi, ternyata tidak semua institusi pendidikan membenahi diri karena ada beberapa institusi yang bukannya menyadari ketidakberesan di dalam institusi mereka tetapi malah asyik menertawakan institusi- institusi pendidikan lain yang sedang membenahi diri. Bagaikan peribahasa kuman di seberang lautan tampak gajah di pelupuk mata tiada tampak, institusi- institusi pendidikan tersebut bukannya memperbaiki diri melainkan sibuk membanding- bandingkan diri dengan institusi pendidikan lain yang dianggapnya berada di level yang “lebih rendah”. Institusi- institusi pendidikan seperti ini selalu mengagung- agungkan kejayaan mereka di masa lalu tanpa menyadari bahwa kejayaan tersebut sekarang hanya tinggal masa lalu bahkan mungkin telah menjadi omong kosong belaka.

Institusi pendidikan yang berkualitas adalah institusi yang mau bercermin sehingga berani untuk mengakui kekurangannya dan mampu memperbaiki diri serta beradaptasi dengan tuntutan zaman. Institusi- institusi pendidikan seperti inilah yang akan mendidik anak- anak bangsa menjadi tidak hanya pribadi yang cerdas, melainkan juga berwasasan luas serta berbudi luhur. Namun, pada kenyataannya justru di tanah air lebih banyak institusi pendidikan yang bukannya mencetak generasi muda yang akan memajukan bangsa Indonesia tetapi malah mencetak gererasi muda yang sama sekali tidak memiliki daya saing. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana sekali : KORUPSI. Bukan hanya korupsi uang ataupun waktu tetapi korupsi moral. Korupsi moral dalam institusi pendidikan terjadi ketika para pemangku kepentingan di dalam institusi pendidikan tersebut dengan sengaja menutup- nutupi borok di dalam institusi mereka, salah satunya adalah bullying. Bullying merajalela dan tenaga pendidik seolah- olah menutup mata terhadap kasus bullying yang terjadi tepat di depan hidung mereka, entah karena kurangnya tenaga pendidik, entah karena hati nurani mereka telah padam sehingga mereka menjadi tidak acuh. Bullying yang dimaksud bukan hanya secara fisik melainkan secara verbal.

Beberapa waktu lalu, sempat ada kejadian yang menggemparkan seluruh tanah air yaitu meninggalnya seorang siswa sekolah menengah atas di tengah kegiatan pecinta alam. Kegiatan yang pada mulanya dimaksudkan sebagai kegiatan rekreasi ternyata malah menghilangkan nyawa salah satu pesertanya. Hingga saat ini penyebab kematian siswa tersebut masih simpang siur. Ada yang mengatakan kejadian tersebut diakibatkan oleh kekerasan yang dilakukan oleh para senior bahkan guru pembimbingnya. Ada juga yang mengatakan bahwa siswa itu sendiri yang memang sudah sakit sejak awal namun memaksakan diri untuk mengikuti kegiatan tersebut. Begitu banyak dugaan dan ketidakjelasan dalam kasus tersebut yang memunculkan satu pertanyaan dalam benak masyarakat, “Apa yang dilakukan oleh institusi pendidikan yang menaungi siswa tersebut?” Kembali pada topik, tentu saja setiap institusi, tidak hanya institusi pendidikan saja, pasti tidak ingin nama baik mereka rusak. Merupakan hal yang lumrah bagi para pemangku kepentingan untuk memiliki agenda masing- masing akan tetapi, apakah benar jika institusi pendidikan malah bertindak seperti sebuah perusahaan komersial? Apakah keserakahan dan keangkuhan telah menutup pintu hati nurani  mereka yang disebut sebagai institusi pendidikan di negeri ini sampai- sampai mereka tega untuk menjadikan generasi penerus bangsa sebagai komoditas ekonomi?

Institusi yang dijalankan oleh para pemangku kepentingan yang tidak bertanggung jawab sama seperti sebuah piramid. Piramid tersebut  merupakan simbol dari kekuatan dan kekuasaan para pemangku kepentingan yang didasari oleh kesombongan. Mereka begitu bangga akan kehebatan mereka yang sebenarnya tinggal sejarah. Lucunya, ada beberapa institusi pendidikan yang memang membangun sebuah “piramid” secara harafiah di tengah- tengah institusi mereka. Bukannya memperhatikan kesejahteraan para tenaga pendidik ataupun keselamatan anak didik mereka, institusi- institusi pendidikan tersebut malah menghambur- hamburkan sumber daya yang mereka miliki untuk sesuatu yang mubazir. Mungkin masalahnya bukan pada institusi- institusi pendidikan itu sendiri, melainkan pada sistem pendidikan yang diterapkan oleh para pemangku kepentingan yang korup secara moral. Semua orang tentu sudah pernah mendengar lagu Himne Guru, di dalam lagu tersebut terdapat ungkapan yang menyatakan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Ungkapan tersebut telah menjadi identitas tenaga pendidik di negeri ini tetapi bukan berarti ungkapan tersebut dapat diterapkan secara harafiah. Bagaimanapun tenaga pendidik adalah manusia yang masing- masing memiliki keluarga dan memerlukan makanan serta tempat tinggal.

Semua orang termasuk tenaga pendidik pasti menginginkan kehidupan yang lebih baik untuk anak cucu mereka. Sangat disayangkan, justru keinginan inilah yang jika tidak dikendalikan maka tanpa sadar dapat menjerumuskan beberapa tenaga pendidik dalam ketidakbenaran. Keinginan untuk hidup sejahtera telah berubah menjadi keserakahan yang membuat beberapa tenaga pendidik yang tersesat tersebut rela melakukan hal- hal yang akan menjadi contoh buruk bagi generasi penerus bangsa, seperti menjual rapot dan ijazah palsu, menjual soal dan kunci jawaban, memaksa anak- anak untuk membeli sesuatu yang dijualnya atau les pelajaran padanya, bahkan menerima sogokan dari orang tua murid. Hal- hal semacam inilah yang semakin merusak moral anak bangsa yang mengarah pada kemunduran bangsa ini. Para tenaga pendidik tidak dapat disalahkan karena jika ditelisik justru sistem pendidikanlah  yang telah menjepit para tenaga pendidik dan memaksa mereka untuk mencari jalan keluar walaupun dengan cara yang tidak baik sekalipun. Seperti yang telah ditulis sebelumnya, sistem pendidikan yang dibuat oleh para pemangku kepentingan yang egois tentu saja tidak akan berpihak pada tenaga pendidik maupun anak didik yang bernaung dalam institusi pendidikan mereka. Pengabaian hak- hak tenaga pendidik telah menjadi hal yang mudah ditiru oleh anak- anak sehingga mereka pun melakukan hal yang sama dengan menindas anak lain yang dianggapnya berbeda atau mungkin lebih lemah daripada mereka. Mungkin sama seperti para pemangku kepentingan yang senang menyengsarakan hidup para tenaga pendidik asal keserakahan mereka terpuaskan, anak- anak pelaku bullying juga sepertinya merasa bahagia dengan memiliki obyek olok- olokan. Akan tetapi tidak pernah ada yang memikirkan apa yang akan terjadi pada anak- anak korban bullying? .

Para tenaga pendidik saja yang sudah dewasa dan mampu untuk berpikir secara matang masih bisa melakukan hal yang tidak benar setelah hak- haknya tidak dipenuhi dan diperparah dengan sistem pendidikan yang menekan mereka, apalagi anak- anak yang belum benar- benar mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk secara mandiri. Para anak- anak korban bullying ini akan tumbuh dewasa menjadi pribadi yang rendah diri dan takut untuk mencoba berbagai hal baru. Semakin lama dan semakin parah bullying yang mereka alami maka semakin berat trauma yang akan mereka hadapi. Trauma seperti ini tidak akan hilang hanya dalam satu dua hari atau satu dua tahun saja melainkan akan terus berlangsung sampai seumur hidup dan bisa saja jika tidak segera ditangani akan membuat anak- anak korban bullying kehilangan fungsinya di dalam masyarakat. Parahnya, justru kebanyakan pelaku bullying adalah anak- anak populer yang dekat dengan para pemangku kepentingan dalam institusi pendidikan dan tentu saja aktif terlibat dalam setiap kegiatan keorganisasian di institusi pendidikan tersebut. Anak- anak pelaku bullying ini akan menghalangi setiap kegiatan yang seharusnya bisa dilakukan oleh para korbannya sehingga para korban bullying ini sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri. Lebih sedihnya lagi, para tenaga pendidik pun banyak yang bersikap tak acuh atau bahkan mungkin ikut menutup- nutupi para pelaku bullying karena dituntut demikian oleh para pemangku kepentingan di dalam institusi pendidikan tersebut. Sungguh menjadi suatu pertanyaan besar bahwa apakah nama baik para pemangku kepentingan dan institusi pendidikan jauh lebih penting dari masa depan anak- anak generasi penerus bangsa yang seharusnya akan membawa negeri ini pada kemajuan ketika mereka dewasa nanti? Apakah sistem pendidikan di negeri ini harus terus dibiarkan  untuk mengabaikan hak- hak para tenaga pendidik?  Apakah Anda rela membiarkan anak Anda menjadi korban bullying yang kasusnya ditutup- tutupi oleh institusi pendidikan yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak Anda? Silahkan renungkan pertanyaan- pertanyaan di atas dan jawab dengan hati nurani yang seharusnya ada pada setiap manusia yang hidup…

Categories: Artikel | Tags: , , , , | 1 Comment

PENTINGNYA MENJADI PRIBADI YANG DEWASA

Kita sering mendengar banyak orang mengatakan bahwa menjadi tua itu pasti seiring dengan bertambahnya usia akan tetapi menjadi dewasa itu pilihan. Apa maksudnya pernyataan tersebut? Mengutip dari sebuah sumber, secara psikologis, menurut Erik Eriksson saat usia mencapai 18-35 tahun disebut dewasa muda, dan setelahnya 36-50 tahun disebut dewasa, sementara usia 50 tahun ke atas disebut “dewasa matang” alias tua. Namun, kematangan psikologis belum tentu terjadi seiring dengan menuanya usia. Karena itu, bila ada ketidakseimbangan ini, maka disebut mengalami gangguan kejiwaan/psikologis dengan penekanan pada gangguan perkembangan mental. Orang yang mengalami gangguan perkembangan mental ini bukan hanya satu dua orang saja melainkan banyak sekali di seluruh dunia, di sekitar kita, bahkan mungkin juga orang- orang yang kita kenal. Penulis pun seringkali menjumpai orang yang secara fisik sudah menjadi manusia dewasa akan tetapi sikapnya seperti anak- anak. Di sini penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bagaimana caranya menjadi dewasa sebaliknya penulis berniat untuk memaparkan pendapat penulis mengenai pandangan penulis mengenai ketidakdewasaan seseorang.
Bagaimana ciri- ciri orang yang tidak dewasa secara mental? Menurut penulis, seseorang yang tidak dewasa secara mental akan selalu membuat berbagai alasan bahkan alasan yang tidak masuk akal sekalipun untuk menghindar dari tanggung jawabnya. Kalaupun ia melakukan berbagai tugas dan kewajibannya, semua hanya akan dilakukan setengah- setengah dan dengan sangat terpaksa. Ia akan terus “meratapi nasib” dan malah seakan menikmati berbagai kekacauan yang terjadi dalam hidupnya yang sebenarnya disebabkan oleh perilakunya sendiri. Setelah melakukan kesalahan, bukannya memperbaiki diri dan mendengarkan nasihat dari orang lain, orang seperti ini akan marah setiap dinasihati bahkan oleh orang terdekatnya sekalipun dan malah menuntut orang lain untuk bertanggung jawab atas hidupnya. Oleh karena itu, ia akan terus melakukan kesalahan yang sama dan menghadapi permasalahan yang sama. Akan tetapi, bukannya menyadari ada yang salah dengan kelakuannya, ia malah akan selalu merasa hidupnya memang ditakdirkan untuk luar biasa sial.
Sebaliknya, seseorang yang dewasa secara mental akan menerima segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya dengan lapang dada. Orang yang berperilaku dewasa akan melakukan setiap tugas dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab dan hanya menerima apa yang memang menjadi haknya. Ia akan mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya dan bersedia untuk bertanggung jawab sebagai konsekuensinya, bukannya malah menyalahkan orang lain, takdir, ataupun Tuhan. Orang dengan pribadi yang benar- benar dewasa akan belajar dari kesalahannya, sehingga ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Di samping itu, seseorang yang dewasa secara mental tentunya mampu menghargai orang lain baik kemampuannya maupun perasaannya. Ia akan menerima nasihat dari orang lain dan sungguh- sungguh mempertimbangkannya, bukannya merasa diri sendiri paling hebat padahal sebenarnya tidak mengerti apa- apa. Akan tetapi, ia tidak akan secara ekstrem mengutamakan kepentingan diri sendiri ataupun keluarga dan golongannya secara egois tanpa mempedulikan kebahagiaan orang lain.
Sebagai manusia semua orang pasti sering mengalami berbagai kejadian yang tidak mengenakkan mulai dari hal- hal sepele hingga hal- hal yang sampai membuat frustasi. Cara setiap orang untuk menghadapi berbagai masalah tersebut tentu berbeda- beda tergantung dari pribadi masing- masing orang yang mengalaminya. Kita mungkin masih ingat ketika kita masih kecil dulu, setiap ada masalah kita pasti akan mengadu pada orang yang kita anggap sanggup menyelesaikan masalah kita misalnya saja orang tua dan guru di sekolah. Namun, seiring bertambahnya usia, kita seakan kehilangan tempat untuk mengadu dan perlahan- lahan kita pun dibiasakan untuk mengatasi sendiri berbagai masalah yang ada. Hal ini bukan karena orang- orang di sekitar kita sudah tidak peduli lagi pada kita tetapi karena kita seharusnya sudah memiliki kemampuan untuk membuat keputusan sendiri tanpa harus merepotkan orang lain dengan berbagai persoalan dalam hidup kita.
Tentunya sebagian besar manusia sejak kecil sudah diajarkan berbagai norma dan aturan yang berlaku di masyarakat di samping peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Semakin bertambahnya usia, setiap orang dituntut untuk memiliki tata karma dan tingkah laku yang tidak berlawanan dengan norma- norma sosial. Berlawanan dari “dunia anak- anak” yang dipenuhi dengan kejujuran dan kepolosan, dunia “orang dewasa” malah dipenuhi oleh ketidakjujuran dan kepura- puraan. Hal ini terjadi karena semakin bertambahnya usia maka kesadaran untuk tidak menyinggung perasaan orang lain ataupun keinginan untuk mencari keuntungan pribadi pun semakin berkembang. Jarang sekali atau bahkan tidak ada orang dewasa yang jujur dan polos seperti anak- anak. Anak- anak bisa dengan mudah mengatakan apapun yang ada di pikiran mereka tanpa takut akan menyinggung orang lain ataupun takut akan mendapat celaka karena terlalu jujur. Sebaliknya, dalam “dunia orang dewasa” berlaku hukum ‘Jujur membawa celaka’ di mana orang yang terlalu jujur dan tidak bisa berpura- pura malah mengalami kegagalan dalam suatu hubungan atau mandek dalam berkarier atau bahkan tersisih dari lingkungan pergaulannya sendiri.
Ketika seluruh dunia seakan- akan memusuhi, di sinilah kedewasaan seseorang secara mental benar- benar diuji. Seseorang yang tidak dewasa secara psikologis akan menyerah begitu saja pada keadaan yang terjadi. Ia akan menyalahkan semua orang bahkan Tuhan dan seluruh dunia atas “ketidakadilan” yang menimpanya. Orang seperti ini biasanya terlalu dimanja saat kecil dan tidak pernah diajarkan untuk menjadi mandiri sehingga walaupun usianya sudah tua perilakunya kekanak- kanakkan. Sampai tua sekalipun, ia akan selalu mengandalkan orang lain tanpa bisa membuat keputusan secara mandiri. Celakanya, ada sebagian orang yang sebenarnya tidak mengerti apa- apa tetapi malah merasa diri paling hebat sehingga segala sesuatu dikerjakan sesuai keinginan sendiri tanpa mempertimbangkan akibatnya. Orang seperti ini akan dengan mudah menghakimi orang lain dan membesar- besarkan kesalahan orang lain karena selalu merasa dirinya sendiri paling benar dan paling hebat. Ia akan selalu iri pada keberhasilan orang lain tetapi tidak mau berusaha untuk meraih kesuksesan. Sebaliknya, ia akan berharap tiba- tiba ada keajaiban jatuh dari langit sehingga ia bisa tiba- tiba sukses dalam semenit tanpa perlu melakukan apa- apa selain bermalas- malasan.
Penulis tentu saja tidak menyarankan supaya semua orang menjadi orang munafik yang hidup dalam kepura- puraan. Maksud penulis adalah, penting bagi setiap orang dewasa untuk peka pada lingkungannya termasuk juga kondisi dan situasi yang sedang terjadi. Sebagai orang dewasa sangat penting untuk belajar menganalisis berbagai masalah sampai ke akar permasalahan supaya masalah tersebut bisa benar- benar tuntas dan tidak menjadi semakin besar. Kita harus bisa belajar dari pengalaman sehingga kita tidak akan berulang kali melakukan kesalahan yang sama ataupun terjerumus dalam masalah yang sama. Kita harus belajar untuk menentukan mana prioritas yang lebih penting sehingga kita tidak akan terjebak dalam dilemma antara mempertahankan prinsip untuk bersikap jujur ataupun mengikuti arus dan berubah menjadi orang munafik. Kita harus belajar menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab sehingga setiap tugas dan kewajiban kita tidak akan terasa seperti beban yang menyiksa hidup kita.
Akhir kata, penulis menyarankan supaya kita semua termasuk penulis sendiri belajar untuk mawas diri sehingga jangan sampai kita mengukur orang lain menggunakan ukuran kita. Karena hanya akan ada dua hasil dari perilaku seperti itu yaitu pertama kita akan merasa diri sendiri selalu benar dan orang lain selalu salah, kedua kita mungkin malah akan merasa diri sendiri gagal dan dunia telah tidak adil pada kita dengan membuat semua orang lain menjadi sukses kecuali kita. Sebagai pribadi yang dewasa secara fisik, mental, dan emosional, penting bagi kita untuk hidup sesuai realita dan memfokuskan diri pada tujuan yang ingin kita capai. Jangan sampai kita berkhayal terlalu tinggi dan akhirnya malah terjerumus dalam keputusasaan setelah gagal mencapai impian yang mustahil tersebut. Namun, tentu saja jangan sampai juga kita menjadi orang yang sama sekali tidak memiliki impian dan tujuan hidup sehingga hidup ini hanya dijalani secara asal- asalan tanpa ada makna sama sekali.
Kita juga harus ingat bahwa menjadi pribadi yang dewasa sangat penting karena kita hidup di dunia ini tidak hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga orang- orang di sekitar kita. Akan seperti apa diri kita diingat setelah kita tidak ada? Akan menjadi orang macam apa anak cucu kita? Warisan apa yang kita tinggalkan tidak hanya untuk anak cucu kita tetapi juga untuk bangsa dan negara di mana kita tinggal dan berkarya? Apakah kita sungguh- sungguh ingin dikenal sebagai orang yang tidak berguna selama kita hidup, orang yang hanya bisa menyusahkan dan menyengsarakan orang lain? Apakah kita mau mati begitu saja dan menghilang dari muka bumi tanpa meninggalkan kesan yang baik sama sekali? Mari kita berpikir sejenak dan merenungkan dalam batin kita… Apa jawaban Anda?!

Categories: Artikel | Tags: , , , | 1 Comment

Bagaimana jika suami terkena post- power syndrome?

 

Setiap rumah tangga pasti memiliki masalah atau setidaknya pernah mengalami masalah. Masalah yang dialami tentu saja bervariasi dari masalah sepele yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan hingga masalah besar yang menimbulkan depresi bahkan menciptakan situasi broken home. Setiap masalah pasti memiliki jalan keluar jika kita mampu untuk duduk sejenak dan berpikir dengan tenang. Akan tetapi, seringkali dalam menghadapi masalah terutama persoalan rumah tangga, kita malah terbawa emosi dan melakukan hal- hal yang mungkin akan kita sesali di kemudian hari. Penulis sendiri sebenarnya belum pernah terlibat dalam suatu hubungan yang serius apalagi berumah tangga. Oleh karena itu, apa yang ditulis oleh penulis di sini ditulis bukan berdasarkan pengalaman pribadi melainkan berdasarkan pengamatan terhadap berbagai kejadian yang terjadi di lingkungan sekitar penulis.

Dalam kehidupan rumah tangga, banyak terjadi berbagai masalah. Masalah yang dimaksud bisa beragam mulai dari suami yang terlalu otoriter dan berlaku bagai “Hitler” terhadap istri dan anak- anaknya, istri yang terlalu cemburuan sehingga mengekang suaminya, anak yang selalu membangkang pada orang tuanya, dan lain- lain. Penyebab dari berbagai masalah di atas juga bukan hanya satu dua hal tetapi banyak hal sehingga kita tidak dapat menyelesaikan masalah yang ada jika kita melihat permasalahan tersebut hanya dari permukaannya saja. Sebaliknya, seharusnya kita melihat segala masalah secara keseluruhan, dengan begitu segala masalah pun dapat diselesaikan dengan solusi yang tidak merugikan salah satu pihak.

Penulis akan mengambil contoh kasus yang telah penulis perhatikan secara langsung yaitu seorang suami yang menjadi “Hitler” di rumahnya sendiri. Pada mulanya, pria seperti ini biasanya menjadi satu- satunya tulang punggung di keluarga karena ia merasa bahwa tugas istrinya hanyalah untuk mengurus rumah tangga dan anak sehingga ia tidak akan membiarkan istrinya berkarier. Sebagai kepala rumah tangga dan penopang utama dalam keluarga, sang suami akan selalu menganggap anak- anak dan istrinya sebagai objek untuk diperintah. Ia tidak akan pernah meminta saran maupun mendengarkan pendapat yang dikemukakan oleh anak istrinya. Hal ini tidak terlalu menjadi masalah karena toh kebutuhan finansial keluarga tercukupi dan sang suami tentu jarang berada di rumah. Masalah mulai muncul ketika sang suami tiba- tiba mengalami suatu kejadian yang cukup traumatis. Akibatnya, sang suami kehilangan kemampuan untuk menafkahi keluarga misalnya bangkrut atau PHK.

Ia begitu bangga dan terlena dalam apa yang dianggapnya sebagai masa kejayaan yang mungkin diraihnya dengan susah payah. Keadaan bertambah parah jika sebelumnya sang suami menduduki jabatan penting dan terbiasa disanjung oleh semua orang sebagai pemimpin. Semakin tinggi kedudukannya sebelum ia jatuh seperti sekarang maka semakin sulit baginya untuk menerima realita kehidupannya saat ini. Inilah yang disebut sebagai post- power syndrome. Sang suami yang mengalami post- power syndrome tidak akan pernah mau menerima bahwa masa kejayaannya sudah berlalu dan dia harus memulai semuanya lagi dari awal. Gejala seorang suami yang terkena post- power syndrome umumnya tidak terlihat jelas bahkan mungkin tidak disadari pada awalnya. Gejala- gejala yang penulis temukan dari hasil pengamatan adalah sebagai berikut;

(a)    sering melamun dan membicarakan kejayaannya di masa lalu dengan dilebih- lebihkan hingga agak terkesan menyombong,

(b)    selalu mengeluh sakit di berbagai bagian tubuhnya padahal jika diperiksa secara medis tidak ditemukan penyakit apa pun,

(c)    menyimpan berbagai barang yang sebenarnya sudah rusak dan tidak dapat dipakai lagi karena khawatir tidak akan mempunyai uang untuk dapat membeli lagi di hari esok,

(d)    marah bahkan murka jika anak dan istrinya tiba- tiba memiliki kebutuhan mendadak apalagi jika harus mengeluarkan sejumlah uang,

(e)    mengatakan bahwa lebih baik ia hidup sendiri dan menyesali kehidupan rumah tangganya karena ia merasa bahwa anak- anak dan istrinya hanya beban,

(f)     membuat berbagai keputusan tidak masuk akal yang tidak dapat ditentang oleh siapa pun karena merasa dirinya seorang pemimpin yang hebat pada masanya.

Sudah cukup buruk jika sang suami menjadi depresi sendiri dan terus hidup dalam masa lalunya yang begitu hebat. Sebagai keluarga tentu saja istri dan anak- anaknya pada hakekatnya harus terus mendampingi dan mendorong sang suami agar kembali produktif seperti sebelum kejatuhannya saat ini. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan penulis, seringkali sang suami tidak terima dirinya terpuruk seorang diri maka mulailah dia ‘berulah’ untuk menyeret keluarganya dalam keterpurukan. Akibat depresi yang terus menerus, pikirannya menjadi tidak jernih sehingga ia melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya pada anak istrinya yang sebenarnya telah mendukungnya dengan sepenuh hati. Bentuk pelampiasannya bisa bermacam- macam, yaitu;

(a)    menyalahkan semua orang bahkan Tuhan atas ‘ketidakadilan’ yang menimpanya sehingga semua orang harus melayani dia sementara dia sibuk mengasihani dirinya sendiri,

(b)    menyiksa istri dan anak- anaknya baik secara fisik ataupun secara mental melalui kata- kata yang merendahkan istri dan anak- anaknya,

(c)    menolak untuk memulai lagi dari awal dan malah bermalas- malasan seharian dengan berbagai kegiatan rekreasi karena merasa dirinya masih berada pada masa kejayaannya,

(d)    memaksa anak dan istrinya untuk ‘membalas segala kebaikan dan jasanya’ dengan mengatakan bahwa ia sudah berbuat cukup untuk keluarga sehingga ia ingin menikmati hidup,

(e)    menghabis- habiskan uang yang masih tersisa untuk memenuhi keinginannya sendiri yang sebenarnya sama sekali tidak diperlukan.

Jika istri dan anak- anak mengalami hal- hal tersebut di atas mungkin pada awalnya mereka akan berusaha memaklumi ulah sang suami yang begitu depresi karena merasa menjadi manusia yang gagal baik sebagai kepala keluarga maupun sebagai seorang pria. Namun, lama kelamaan istri dan anak- anaknya akan menjadi tidak tahan harus terus diam dengan keadaan yang dirasa semakin lama semakin buruk. Bagaimanapun anak- anak dan istrinya bukan Tuhan yang memiliki kesabaran tanpa batas, seorang suami seharusnya mulai menyadari perilakunya yang salah dan mulai bangkit dari keterpurukan. Memang bukan hal mudah untuk bangkit dari keterpurukan walaupun dengan dukungan dari orang- orang terdekat sekalipun. Tetapi, penulis yakin seorang suami sebagai pribadi yang berakhlak seharusnya mau menerima kenyataan sebelum semuanya menjadi terlambat.

Banyak akibat buruk yang dapat terjadi jika sang suami tidak sadar- sadar juga, salah satunya perceraian. Selanjutnya yang paling dirugikan dari sebuah perceraian tentu saja anak- anak. Bukan tidak mungkin anak- anak tersebut akan terjerumus ke dalam pergaulan bebas atau menjadi pecandu narkoba. Dalam hal ini ibu mereka tidak bisa disalahkan karena sang ibu pasti sibuk mencari nafkah sehingga tidak ada waktu untuk mengawasi anak- anaknya. Mungkin penulis terlalu jauh untuk mengatakan bahwa anak- anak dari keluarga broken home akan menjadi pecandu narkoba atau terjerumus pergaulan bebas, tetapi yang pasti setiap pecandu narkoba dan remaja pelaku kriminal lainnya pasti berasal dari keluarga broken  home. Kalaupun anak- anak tersebut tetap menjadi anak yang berprestasi demi ibu mereka, tetap saja secara psikologis anak- anak tersebut akan membawa trauma sampai mereka dewasa bahkan sampai mati.

Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan bahwa sangat penting adanya dialog yang sehat di dalam sebuah keluarga baik antara suami dengan istri, antara anak dengan orang tua maupun antar saudara agar masalah yang ada tidak menjadi berlarut- larut. Misalkan dalam keluarga dengan kepala keluarga seorang “Hitler”, menurut penulis seharusnya sejak sang suami menampakkan gejala tersebut anak- anak dan istrinya terus mendukung sang suami agar segera pulih dari keterpurukannya. Bentuk dukungan yang penulis maksud tentu bukanlah penghiburan dan belas kasihan yang berlebihan karena hal itu malah akan semakin membuat seseorang yang terkena post- power syndrome semakin rendah diri. Dari awal seharusnya sang istri menolak untuk menuruti mentah- mentah perkataan suaminya dan hanya menjadi ibu rumah tangga yang pasrah. Coba saja kita bayangkan jika sang istri tetap berkarier di samping mengurus rumah tangga tentu saat kejadian tak terduga menimpa suaminya, kondisi financial keluarga mereka tidak akan terlalu terpuruk. Suami juga tidak bisa seenaknya merendahkan istrinya karena sang istri memiliki “nilai tawar” setiap terjadi percekcokkan. Di samping itu, sang suami juga tidak akan menjadi “Hitler” karena sejak awal  membina rumah tangga ia tidak dibiasakan dengan kondisi semua orang patuh pada apa pun perkataannya. Sehingga, jika suami sampai mengalami post- power syndrome ia tidak akan berani terang- terangan menyiksa anak- anak dan istrinya baik secara fisik maupun mental karena jauh dari alam bawah sadarnya dia tahu bahwa ia memerlukan keluarganya untuk bertahan hidup.

Jadi, bagaimana jika suami terkena post- power syndrome? Tentu saja jawabannya adalah komunikasi karena komunikasi yang baik adalah dasar dari terciptanya keluarga yang harmonis. Penulis sering mendengar pepatah yang mengatakan bahwa “Diam adalah emas”. Dikatakan bahwa pepatah dikatakan oleh orang bijak sehingga kebenarannya notabene tidak perlu diragukan lagi. Namun, di era globalisasi seperti sekarang apakah pepatah itu masih tepat untuk diterapkan dalam menghadapi setiap masalah. Beberapa masalah mungkin bisa kita hindari dengan berdiam diri, tetapi permasalahan di dalam rumah tangga harus dihadapi baik kita siap ataupun tidak sebelum segalanya terlambat. Bukan berarti kita harus membuat setiap permasalahan menjadi percekcokkan karena maksud penulis adalah kedua belah pihak yang berselisih baik itu suami dengan istri, orang tua dengan anak, maupun antar saudara seharusnya bisa membicarakan permasalahan mereka secara baik- baik. Dengan begitu, akar dari permasalahan bisa ditemukan lalu diselesaikan mulai dari akar permasalahan tersebut sehingga masalah yang terjadi benar- benar tuntas.

Categories: Artikel | Tags: , , , | 1 Comment

Blog at WordPress.com.